Sosial media benar-benar berpengaruh terhadap perkembangan petualangan. Ada yang memberikan pengaruh positif, namun ada juga yang menjadi bumerang negatif untuk spot petualangan tersebut. Selengkapnya di bahasan ini gaes !
Sisi terang yang dimaksud adalah bagaimana sebuah perjuangan
seorang petualang untuk menaklukan puncak gunung tertinggi, menjinakan ombak
lautan yang ganas, atau bahkan menjadikan hutan belantara sebagai taman
bermainnya.
Sisi terang yang lain juga adalah bagaimana mereka, para
petualang – menangkap segala momen seru mereka bersama keindahan alam yang ada
di sana dengan sangat baik. Kebaikan tersebut bahkan dengan mudah mendapatkan
banyak respon dari petualang lain lewat sosial media.
Sosial media, tentu hal ini menjadi jembatan saat para
petualang bereksplorasi ke tempat-tempat yang keindahan alamnya masih
tersembunyi dengan baik. Lalu, mereka suguhkan keindahan alam tersebut kepada
khalayak banyak lewat berbagai bentuk sosial media: Facebook, Twitter, dan
Instagram.
Dari beberapa bentuk sosial media yang sudah disebutkan
sebelumnya, kondisi spot petualangan yang disuguhkan oleh para petualang di
akun-akun mereka terlihat sangat indah. Hal tersebut tentu dipengaruhi oleh
hal-hal magis yang sosial media bisa lakukan.
Namun, entah ada petualang yang peka terhadap hal ini atau
tidak – semakin terekspos spot petualangan yang ada, semakin penasaran yang
menggebu-gebu untuk didatangi oleh khalayak banyak. Hal ini bisa mengakibatkan
sisi gelap dari petualangan. Sebuah sisi yang hampir tidak pernah terlihat oleh
mereka semua.
Geotagging: Salah Satu Bumerang?
Kondisi tersebut juga diyakini benar oleh Christophe
Haubursin, sebagaimana tulisannya dan videonya di vox – yang menyatakan
bagaimana keindahan alam yang direkam di sosial media malah bisa merusak alam
tersebut.
Di videonya, Chris setidaknya menjelaskan bagaimana
perubahan yang terjadi di salah satu sisi Sungai Colorado, Arizona. Perubahan
pesat tersebut ia mulai bandingkan kondisi spot petualangan tersebut pada tahun
1992 dan sampai sekarang.
Tadinya, spot tersebut tidak dikenal banyak orang. Sekarang,
sudah banyak mobil dan motor yang parkir di area tersebut. Hal ini terjadi
karena ada fitur geotagging di beberapa sosial media. Fitur ini memudahkan para
pencari spot petualangan karena bentuknya yang seperti peta petunjuk.
Fitur ini memang memudahkan, sayangnya cukup jadi bumerang
bagi spot petualangan itu sendiri. Bumerang tersebut juga harus diterima oleh
pihak pengelola Kebun Bunga Amarylis. Bunga Amarylis, di bahasa setempat,
bernama Brambang Procot.
Ingat Kebun Bunga Amarylis di Gunungkidul Yogyakarta?
Sisi Gelap Sosial Media dan Traveller Untuk Spot Petualangan. credit photo: merdeka.com |
Bukan saja mengagumi keindahan deretan Bunga Amarylis, namun
mereka meninggalkan jejak juga di sana. Ya, tumpukan bunga yang patah dari
tangkainya dan gepeng karena terinjak-injak banyak orang yang berusaha ber-swafoto
di sana. Miris.
Mengapa ini bisa terjadi? Singkatnya, keindahan alam
terekspos di sosial media, banyak yang penasaran, datang, dan merusak. Maaf
bro, tapi ini fakta.
Tidak hanya Kebun Bunga Amarylis yang notabennya dengan
mudah untuk ditemukan banyak orang. Spot petualangan sekelas Ranu Kumbolo saja
bisa berantakan karena sampah yang sengaja ditinggalkan di sana.
Sekelas Ranu Kumbolo, Danau Segara Anak dan Pulau Sempu
Mesti Berhiaskan Tumpukan Sampah Juga?
credit photo: male.co.id
|
Apakah para petualang benar-benar sengaja meninggalkan jejak
berupa tumpukan sampah di tiga spot petualangan yang kelasnya sudah bintang
lima? Tidak ada yang tahu secara presisi jawabannya kecuali petualang itu
sendiri.
Sayang sekali, Ranu Kumbolo di Semeru, Danau Segara Anak di
Kerinci, dan Pulau Sempu mesti sempat berhiaskan tumpukan sampah sebagai jejak
mereka yang pernah datang ke sana. Keindahan alam yang ada mestinya dijaga,
bukan malah dihias oleh tumpukan sampah.
credit photo: diatasawan.com
|
Bicara soal sampah, para petualang sepertinya harus berkaca
bagaimana jika rumah atau setidaknya kamar tempat ia beristirahat jika dihiasi
dengan tumpukan sampah akan terasa seperti apa. Kurang lebih refleksi seperti
itu yang perlu mereka ketahui persis.
Kurang sadarkah para petualang dan pendaki terhadap spot
petualangan yang eksotis?
Tidak hanya spot petualangan yang tergolong pegunungan, Gili
Trawangan, Pantai Kuta, bahkan sampai Pulau Derawan – sempat kehilangan
keindahannya karena tumpukan sampah. Bro, jika terus begini maka ekosistem alam
akan rusak sehingga keindahan alam yang ada akan hanya jadi wallpaper kenang-kenangan
di gadget yang lo punya.
Raja Ampat Sempat Berduka
credit photo: travel.detik.com
|
Lo semua tahu Raja Ampat adalah spot petualangan yang
bagaimana? BETUL. Raja Ampat adalah spot petualangan kelas dunia yang mempunyai
keindahan alam bawah laut yang luar biasa. Sayang, beberapa waktu lalu Raja
Ampat sempat berduka.
credit photo: tribunnews.com
|
Datangnya Kapal Pesiar MV Caledonian Sky beberapa waktu lalu
ternyata membawa petaka bagi terumbu karang dan ekosistem laut Raja Ampat.
Terlalu minggir dan dekat dengan kawasan konservasi terumbu karang, kapal
pesiar sombong itu menabrak dan merusak segala yang ada.
Perlu lo ketahui bro, rehabilitasi karang tidak semudah dan
secepat yang dikoar-koarkan oleh mereka yang merasa sok bertanggung jawab.
Butuh bertahun-tahun untuk terumbu karang dan berbagai ekosistemnya untuk
kembali lagi seperti semula.
Terbaru, Seekor Paus Sperma di Wakatobi –
Mati Membusuk, Begitu Diteliti Ada 5,9 Kilogram
Plastik di Dalam Perutnya.
credit photo: mongabay.com
|
Kalau sudah begitu, siapa yang mau tanggung jawab? Sampah
plastik kira-kira datang dari siapa bro? Betul, dari orang-orang yang hanya
tahu keindahan alam dari sosial media tanpa tahu bagaimana menjaganya
bagaimana.
We must end this irony. Indonesia adalah negara dengan
jutaan spot petualangan yang berkelas tinggi bro. Kalau bukan lo sebagai
petualang sejati yang menjaganya langsung, lalu mau bergantung dengan siapa?
Oleh karena itu, pastikan jika ingin mengekspos keindahan
alam di spot petualangan tertentu, pastikan lo juga menghimbau mereka untuk
menjaga destinasi tersebut agar terus bisa dinikmati oleh generasi-generasi
berikutnya.
Mengabarkan keindahan alam adalah hal yang baik. Namun,
jangan sampai kabar baik tersebut berubah menjadi bumerang dan malah jadi kabar
buruk – karena spot petualangannya rusak dan hancur oleh kunjungan yang masif.
Feature Image - asliindonesia.net
Post a Comment