Reggae: Jeritan Hati Kaum Rastaman
Ganja dan mariyuana identik dengan mereka. Apalagi sepintas penampilan para rastafarian ini memang mendukung : rambut gimbal, kaos oblong lusuh, celana jins belel, sepatu kets butut dan gaya hidup masa bodoh. Musik mereka juga unik : reggae!
Ganja dan mariyuana identik dengan mereka. Apalagi sepintas penampilan para rastafarian ini memang mendukung : rambut gimbal, kaos oblong lusuh, celana jins belel, sepatu kets butut dan gaya hidup masa bodoh. Musik mereka juga unik : reggae!
Kali ini Kick Andy mencoba untuk melihat dari dekat komunitas rastafarian atau rastaman di Indonesia. Di negeri asalnya, Jamaika, kaum rastafaria identik dengan perjuangan kaum kulit hitam. Bermula dari tokoh pejuang hak-hak kaum kulit hitam yang di Kingston, Jamaika, Marcus Garrey yang percaya bahwa akan ada seorang "nabi" yang akan datang dan membebaskan mereka dari penindasan kaum kulit putih.
Tak pelak ketika seorang tokoh kharismatik bernama Ras Tafaria Makonnen tiba di tanah Jamaika, Marcus yakin "sang pembebas" sudah datang. Ras Tafaria lalu dijuluki Haile Selassie 1, Maha Diraja Ethiopia. Kelompok ini cenderung menjadi semacam sekte dan menamakan diri mereka Rastafarian.
Semangat pembebasan inilah yang kemudian meluas setelah Bob Marley, seorang musisi reggae, menerapkan ajaran-ajaran rastafaria ke dalam musiknya. Sejak itu musik reggae identik dengan rastafarian.
Walau Bob Marley sendiri lahir dari ayah Inggris dan ibu Jamaika, semangat perlawanan terhadap penindasan kulit hitam sangat kuat dalam setiap lirik lagu-lagunya. Tak heran jika musisi idola kaum hitam yang meninggal pada usia 36 tahun karena kanker ini pernah nyaris terbunuh oleh persoalan politik.
Bagaimana di Indonesia? Musik reggae sudah mulai dikenal sejak 1970-an. Namun dalam perjalanannya terseok-seok dan kalah pamor dari lagu-lagu pop dan country. Bahkan oleh jazz dan blues. "Salah satu faktor karena tidak mudah memainkan dan menyanyikan musik reggae," ujar Tony Q Rastafara, salah satu dedengkot musik reggae di Indonesia.
Selain itu, selama ini ada stereotipe musik reggae identik dengan ganja, mariyuana dan seks bebas. Namun tudingan itu ditepis oleh Tony dan Steven, vokalis kelompok musik Steven & Coconut Treez. "Kembali kepada individu masing-masing. Banyak juga mereka yang bukan penggemar regge yang terlibat drugs."
Penegasan Tony dan Steven diperkuat Sri Tjandra Purnama, seorang ibu rumah tangga penggemar musik reggae. Bersama suaminya, seorang bankir, mereka membangun sebuah studio rekaman untuk menampung aspirasi para musisi reggae. "Mereka itu tampak luarnya saja yang seram. Tapi hati mereka baik dan lembut," ujar Sri, yang di Kick Andy menyanyikan No Women No Cry diriingi kedua putrinya.
Musik reggae, yang juga identik dengan warna hijau, kuning dan merah ini belakangan naik daun ketika lagu Welcome to My Paradise yang dinyanyikan Steven & Coconut Treez meledak di pasaran dan menjadi hit di berbagai radio. "Album itu kami rekam sendiri karena tidak ada label yang mau," ungkap Steven
Tak pelak ketika seorang tokoh kharismatik bernama Ras Tafaria Makonnen tiba di tanah Jamaika, Marcus yakin "sang pembebas" sudah datang. Ras Tafaria lalu dijuluki Haile Selassie 1, Maha Diraja Ethiopia. Kelompok ini cenderung menjadi semacam sekte dan menamakan diri mereka Rastafarian.
Semangat pembebasan inilah yang kemudian meluas setelah Bob Marley, seorang musisi reggae, menerapkan ajaran-ajaran rastafaria ke dalam musiknya. Sejak itu musik reggae identik dengan rastafarian.
Walau Bob Marley sendiri lahir dari ayah Inggris dan ibu Jamaika, semangat perlawanan terhadap penindasan kulit hitam sangat kuat dalam setiap lirik lagu-lagunya. Tak heran jika musisi idola kaum hitam yang meninggal pada usia 36 tahun karena kanker ini pernah nyaris terbunuh oleh persoalan politik.
Bagaimana di Indonesia? Musik reggae sudah mulai dikenal sejak 1970-an. Namun dalam perjalanannya terseok-seok dan kalah pamor dari lagu-lagu pop dan country. Bahkan oleh jazz dan blues. "Salah satu faktor karena tidak mudah memainkan dan menyanyikan musik reggae," ujar Tony Q Rastafara, salah satu dedengkot musik reggae di Indonesia.
Selain itu, selama ini ada stereotipe musik reggae identik dengan ganja, mariyuana dan seks bebas. Namun tudingan itu ditepis oleh Tony dan Steven, vokalis kelompok musik Steven & Coconut Treez. "Kembali kepada individu masing-masing. Banyak juga mereka yang bukan penggemar regge yang terlibat drugs."
Penegasan Tony dan Steven diperkuat Sri Tjandra Purnama, seorang ibu rumah tangga penggemar musik reggae. Bersama suaminya, seorang bankir, mereka membangun sebuah studio rekaman untuk menampung aspirasi para musisi reggae. "Mereka itu tampak luarnya saja yang seram. Tapi hati mereka baik dan lembut," ujar Sri, yang di Kick Andy menyanyikan No Women No Cry diriingi kedua putrinya.
Musik reggae, yang juga identik dengan warna hijau, kuning dan merah ini belakangan naik daun ketika lagu Welcome to My Paradise yang dinyanyikan Steven & Coconut Treez meledak di pasaran dan menjadi hit di berbagai radio. "Album itu kami rekam sendiri karena tidak ada label yang mau," ungkap Steven
Post a Comment